Tren Penggunaan Terapi Maggot Sebagai Penyembuh Luka dan Antibakteri

By Adrian Hilman Lubis

Apakah Anda pernah dengar maggot sebelumnya? Apa sebenarnya itu maggot dan kegunaannya di dunia medis?

Penggunaan maggot (belatung) untuk mengobati luka telah ada sejak zaman kuno. Berdasarkan beberapa informasi yang didapat, penggunaan maggot untuk penyembuhan luka telah dilakukan oleh penduduk asli Amerika suku Maya dan suku Aborigin di Australia. Selain itu, beberapa informasi juga menyebutkan bahwa penggunaan maggot sebagai pengobatan juga terjadi di zaman renaissance. Dimana pada waktu itu, dokter militer telah mengamati bahwa tentara yang luka-lukanya telah dikolonisasi oleh maggot mengalami morbiditas dan mortalitas yang jauh lebih rendah daripada tentara yang luka-lukanya belum dikolonisasi maggot. Dokter-dokter ini termasuk salah satunya ahli bedah umum Jendral Napoleon Bonaparte, Baron Dominique Larrey. Larrey melaporkan bahwa selama masa kependudukan Perancis di Suriah (1798-1801) terdapat beberapa spesies lalat yang dapat mengkonsumsi hanya jaringan mati dan membantu penyembuhan luka (Sherman, et. al., 2000).

Gambar maggot (Belatung) yang biasa digunakan untuk terapi

Terapi maggot atau biasa dikenal biosurgery telah dipraktekkan baik secara tradisional hingga konvensional saat ini. Terapi ini berguna untuk menghilangkan jaringan mati dari luka dan menyembuhkan infeksi bakteri di lokasi luka. Penggunaan terapi maggot ini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia karena khasiat, keamanan dan kemudahannya. Terapi maggot telah berhasil mengobati benyak jenis luka kronis, seperti diabetes.

Dalam suatu kasus diabetes, dokter akan mengamputasi kaki seorang pasien penderita kronis foot ulcer jika pengobatan terakhir yang akan dilakukan tidak berhasil. Dengan persetujuan pasien tersebut dalam upaya terakhir untuk menyelamatkan kakinya, dokter mulai membedah ulkus di luka kakinya dan menutupi dengan perban yang memiliki lubang tembaga yang terdiri dari maggot yang berukuran 1-3 mm. Kemudian, maggot yang mulai lapar bergerak kearah luka terbuka dan melahap sedikit demi sedikit jaringan mati di luka tersebut. Pasien tersebut sadar bahwa luka ulkus di kakinya sedang dimakani maggot yang menimbulkan sensasi ‘geli’. Akhirnya setelah tiga minggu kemudian, pasien tersebut keluar dari rumah sakit dengan kaki kanannya yang benar-benar sembuh.

Proses dasar penyembuhan luka dengan terapi maggot dilakukan oleh tiga tahapan utama pada luka, yakni debridement (penghapusan jaringan mati), disinfeksi dan simulasi penyembuhan luka. Selama tindakan disinfeksi pada luka, aktivitas antiseptik maggot menyebabkan banyak peneliti menyelidiki sifat antibakteri maggot.

Aktivitas antibakteri dari ekstrak maggot telah mulai diteliti sejak tahun 1930-an oleh Simmons, et. al., diikuti oleh Pavillard, et. al. Penelitian mereka menggambarkan bagaimana teknik ekstraksi dan aktivitas bakterisida dari ES (eksresi/sekresi) yang diekstraksi dari maggot Lucilia sericata. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hal itu disebabkan oleh faktor antibakteri dalam eksresi atau sekresi maggot, sementara penelitian lain oleh Mumcouglu, et. al. (2001) disebabkan oleh penyerapan dan aktivitas usus.

Saat ini, penelitian maggot telah dikembangkan sejalan dengan banyaknya infeksi kronis pada luka yang umumnya terkait dengan biofilm yang terbentuk oleh bakteri. Penelitian yang dilakukan oleh Harris, et. al., (2009) telah menunjukkan bahwa ES maggot Lucilia sericata mengandung banyak senyawa bioaktif yang berkontribusi pada khasiat di terapi maggot. Penelitian ini mengevaluasi pengaruh ES Lucilia sericata terhadap pembentukan dan gangguan biofilm Staphylococcus epidermidis 1457 dan 5179-R1. Strain S. epidermidis adalah pathogen utama infeksi yang berhubungan dengan perangkat medis. Polysaccharide intercellular adhesin (PIA) adalah faktor virulensi utama biofilm S. epidermidis. PIA berperan penting dalam pembentukan biofilm, terutama pada awal kepatuhan bakteri dan adhesi intraselluler. PIA disintesis oleh enzim yang dikodekan dengan gen icaA, icaB, icaC dan icaD. Dengan meningkatnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik, terapi debridement oleh maggot menjadi solusi utama dalam pengobatan luka kronis.

Karena alasan ini, ES diekstraksi dari banyak maggot dengan spesies blow flies yang telah dipelajari untuk aktivitas antibakteri terhadap berbagai bakteri gram negatif dan gram positif. Sebagian besar penelitian yang dilakukan di Eropa menggunakan maggot dari spesies Lucia sericata. Sedangkan penelitian di Indonesia menggunakan maggot dari spesies Chloroprocta, sp., yang merupakan lalat hijau keluarga Calliphoridae. Lalat hijau jenis ini dapat ditemukan di Indonesia terutama di Semarang, Jawa Tengah.

Penelitian yang dilakukan oleh Anjarwati, et. al., (2014) menggunakan sekresi maggot Chloroprocta, sp. Penelitian secara in vitro ini menggunakan konsentrasi rendah pada pembentukan biofilm S. epidermidis (fenotip) dan tingkat ekspresi gen icaA (genotip). Tingkat ekspresi gen icaA dianalisis dengan RealTime PCR menggunakan metode lighcycler. Sedangkan uji ketahanan biofilm S. epidermidis terhadap ES dianalisis dengan uji MTT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon bakteri terhadap konsentrasi rendah sekresi maggot berbeda pada tingkat fenotip dan genotip. Konsentrasi rendah maggot meningkatkan pembentukan biofilm, sebaliknya, konsentrasi yang sama menurunkan  tingkat ekspresi gen icaA. Kesimpulan akhir dari penelitian ini, kemungkinan kemampuan sekresi maggot untuk mengendalikan biofilm bakteri tidak hanya berkaitan dengan tingkat ekspresi gen icaA. Sehingga masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut kedepannya. Apakah Anda tertarik untuk melakukan terapi maggot?

Sumber:

Journal of Medical Entomology

Journal Artificial Organs

Nature

Journal of Bacteriology

Indonesian Journal Pharmacy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *