Oleh Kholqillah Ardhian Ilman
Neil deGrasse Tyson, seorang astrofisikawan Amerika dan Direktur dari Hayden Planetarium, pada 28th National Space Symposium di Colorado, membahas bagaimana para ilmuwan dan kontribusi mereka dapat membentuk dunia kita seperti yang kita kenal saat ini. Dalam pidatonya, ia menunjukkan daftar pemenang Nobel dalam bidang biomedis, kimia, fisika, dan ekonomi mulai dari tahun 1900 hingga 2010. Ada total 609 hadiah Nobel pada saat itu, dengan 196 di bidang biomedis, 158 bidang kimia, 189 bidang fisika , dan 66 dalam bidang ekonomi. Menariknya, ada setidaknya 150 penghargaan nobel diberikan kepada ilmuwan Yahudi atau sekitar 25% dari keseluruhan total penghargaan nobel pada saat itu. Lalu, bagaimana dengan orang Islam? Setidaknya ada 3 penerima beasiswa atau hanya sekitar 0,5%. Sebuah fakta yang patut menjadi catatan kita semua.
Menurut pewresearch.org, pada tahun 2010 ada sekitar 14 juta orang Yahudi di seluruh dunia sedangkan pada 2015 ada setidaknya 1,8 miliar Muslim atau hampir 130 kali jumlah orang Yahudi pada tahun 2010. Dengan jumlah populasi Muslim yang sangat besar itu, Muslim hanya dapat menyumbang 3 orang untuk menjadi pemenang penghargaan nobel. Apa yang salah dengan Muslim?
Catatan penting: bahwa artikel ini bukan ditujukan untuk membandingkan antar agama. Saya hanya ingin meningkatkan kesadaran di kalangan umat Islam bahwa sains adalah dan selalu menjadi bagian penting dalam agama Islam.
Muslim pernah memiliki zaman dimana tingkat pengembangan ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai yang luar biasa, zaman ini dikenal sebagai “The Golden Age of Islam” yang berlangsung pada abad ke-8 hingga abad ke-14 masehi. Semua sejarah besar ini dimulai oleh Harun Al-Rasyid, seorang Khalifah Abbasiyah (786 – 809), yang meresmikan pusat penelitian yang disebut “House of Wisdom” (Baitul Hikmah) di Baghdad di mana banyak sarjana dari berbagai latar belakang diundang untuk berdiskusi, mengumpulkan, dan menerjemahkan semua pengetahuan terdahulu ke dalam bahasa Arab. Di era tersebut, banyak ilmuwan Muslim menunjukkan karya mereka, seperti Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi dengan aljabarnya, Al-Kindi dengan kimia-nya yang mampu mentransmisikan logam sederhana dan menjadi dasar bagi terbentuknya material baru yang mirip emas, Banu Musa dengan mesin terprogram pertama yang pernah dibuat oleh manusia, dan banyak lagi. Betapa menakjubkan sejarah perkembangan ilmu dalam sejarah Islam. Tapi sekarang, sebagian besar cerita sudah hilang dan jika kita mencoba untuk berpikir tentang kemajuan ilmu pengetahuan, kita biasanya merujuk ke dunia Barat.
Para sejarawan mengatakan bahwa alasan di balik runtuhnya zaman keemasan Islam ini disebabkan oleh invasi yang dipimpin oleh Hulagu Khan, cucu dari Kaisar Mongol Genghis Khan. Kebanyakan Muslim dibunuh dan banyak bangunan Kekaisaran Abbasiyah yang hancur, termasuk The House of Wisdom. Semua karya ilmuwan dan buku-buku dilemparkan ke Sungai Tigris. Invasi ini tidak hanya menghancurkan kekaisaran, tetapi juga menghancurkan semua perkembangan ilmu pengetahuan yang telah dibangun selama ratusan tahun. Tapi, apakah benar bahwa semua budaya ilmiah di zaman keemasan Islam hancur oleh invasi Hulagu Khan?
Pada abad ke-13, ada suatu peristiwa yang disebut dengan “The Golden Age of Sufism“. Sufisme adalah konsep yang menekankan aspek filsafat spiritual dan mistis dalam Islam. Konsep ini mengajarkan para pengikutnya untuk membentuk hubungan langsung dengan Allah yang melampaui hal-hal bersifat materi dan segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan Allah. Sufisme juga menginstruksikan orang-orang Islam untuk mempersembahkan seluruh hidup mereka melalui meditasi, doa yang berulang, dan aksi non-kekerasan. Pendekatan ini pada dasarnya menunjukkan betapa indahnya Islam dan membentuk para pengikutnya menjadi Muslim sejati, tentunya jika diaplikasikan sebagaimana seharusnya.
Dalam era Sufisme yang berkembang, banyak Muslim dari Kekaisaran Abbasiyah mengambil konsep tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan mereka. Bagaimanapun juga, setelah tragedi kehancuran Abbasiyah, meskipun sudah banyak media-media berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang hancur, seharusnya budaya ilmiah sudah terinternalisasi dalam pikiran dan hati nurani setiap umat Islam disana. Namun, pada kenyataannya, tidak ada sejarah yang mengatakan tentang perkembangan ilmu pengetahuan setelah itu. Orang Muslim merasa semua hal yang terjadi pada mereka adalah kehendak Tuhan (tentu saja benar) tetapi tidak ada tindakan yang signifikan untuk membangun kembali budaya dan lebih suka menjadi Muslim yang mengabaikan kehidupan duniawi dan sangat mengejar kehidupan akhirat.
Penerapan konsep Sufisme secara radikal dapat menjadi penghambat umat Islam untuk meningkatkan kualitas dunia, terutama dalam hal peningkatan ilmu pengetahuan. Dalam Al Qur’an Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi “pengelola” dunia (Q.S. Al-Baqoroh: 30). Juga, Nabi Sulaiman pernah meminta kepada Allah untuk memberinya sebuah kerajaan besar yang tidak ada orang lain yang sanggup menandinginya (Q.S. Sad: 35). Lihat, seorang nabi, seorang pria yang paling banyak berinteraksi dengan Allah, meminta suatu hal terkesan sangat duniawi. Dia menginginkan kekayaan dan kekuasaan untuk menguasai dunia, manusia, hewan, dan Jin. Mengapa Nabi Sulaiman meminta kekuasaan? Karena dia tahu bahwa dengan mengendalikan dan memerintah dunia, dia dapat berdakwah dan mengajarkan keindahan Islam sebagaimana seharusnya, seluas mungkin. Jadi, tidak ada salahnya meminta kepada Allaah hal-hal yang bersifat duniawi selama itu bisa mendukung dakwah.
Kedua, umat Islam sangat menghormati para ulama karena melalui karya mereka umat Islam dapat memahami dan menerapkan kehidupan Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis yang tidak disebutkan secara langsung saat generasi Nabi Muhammad (saw). Pernyataan ini mutlak benar karena para sarjana Islam seperti “jembatan” yang menghubungkan era Nabi Muhammad dan kehidupan masa kini. Nah, terkadang, dalam masyarakat Muslim saat ini, mempertanyakan dan mengkritik karya ulama dapat diakui sebagai kebiasaan buruk dan setiap Muslim harus menghindarinya, terima saja tanpa penyelidikan mendalam. Budaya ini mungkin membuat umat Islam secara buta mengikuti konsep tertentu tanpa mengetahui landasan mengapa sesuatu perlu dilakukan dan mengapa ada sesuatu yang dilarang. Saya pikir setiap Muslim harus berani bertanya, berdiskusi, mengamati, menyelidiki, bahkan mengkritik karya-karya ulama demi pemahaman, tetapi tidak untuk menyinggung dan tidak pula untuk menuduh mereka. Berpikir secara kritis tidak dilarang dalam Islam, bahkan Nabi Musa pernah meminta Allah untuk menunjukkan kepadanya kuasa dan keilahian-Nya untuk memperkuat keimanan Nabi Musa (Q.S. Al-A’raf: 143).
Akhir kata, ilmu pengetahuan merupakan hal yang sangat penting bagi masa depan suatu bangsa. Sebagian besar negara Islam tertinggal dalam aspek pengembangan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan negara barat. Dan kondisi ini akan terus terjadi kecuali umat Islam dapat menjadi bijaksana ketika menempatkan kehidupan duniawi dan akhirat. Bagaimanapun, paradigma berpikir kritis harus diinternalisasi di setiap hati dan otak umat Islam saat ini.
Leave a Reply