Oleh Muhammad Kholilurrahman
Pada bulan Maret 2017 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan) mencapai 27,77 juta orang (10,64%). Angka tersebut merupakan pertambahan dari tahun sebelumnya yaitu 10,07 persen. Penduduk miskin pada perkotaan meningkat pada 2017 menjadi 7,72 persen dibanding September 2016 sebesar 7,37 persen angka tersebut mempresentasikan kenaikan jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan sebanyak 0,29 juta orang (yang awal 10,36 juta orang pada September 2016 menjadi 10,65 juta orang pada Maret 2017). Berbeda dengan perkotaan, jumlah penduduk miskin di pedesaan mengalami penurunan. Angkanya menurun dari 13,96 persen pada September 2016 menjadi 13,93 persen pada Maret 2017 (bps.go.id). Sementara itu kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang ditunjukkan oleh indeks Gini menunjukkan angka yang tidak kalah memprihatinkan yaitu sebesar 0,393. Ditambah fakta lain, hanya 1% orang yang menguasai lebih dari 50% total kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia (survey lembaga keuangan swiss, credit suine).
Data tersebut menjelaskan betapa miskinnya masyarakat Indonesia ditengah banyaknya sumber daya alam yang sebenarnya bisa dieksplor oleh negara kita sendiri. Kebijakan perekomian yang semakin tak jelas menjadikan perekonomian Indonesia tidak kunjung stabil. Kemiskinan, pengangguran dan kejahatan sangat berkorelasi positif. Beberapa kasus korupsi yang mewarnai dunia pertelevisian juga menambah beban negara untuk mengatasi permasalahan kemiskinan serta kelemahan ekonomi ini.
Bank dan Baitul Maal wat Tamwil
Satu dari banyak hal yang memiliki keterkaitan dengan semakin mengakarnya masalah kemiskinan adalah tempat penyimpanan dana oleh masyarakat. Jika bisa diperjelas, bank adalah tempat masyarakat meletakkan dan menyimpan dananya. Di Indonesia sendiri lembaga keuangan terbagi menjadi dua, Lembaga Keuangan Bank (LKB) dan Lembanga Keuangan Non Bank (LKNB). Yang lebih familiar di masyarakat itu sendiri adalah Bank dan Koperasi, meskipun dalam pembagiannya lembaga keuangan terbagi menjadi berbagai macam bentuk.
Bank maupun koperasi sudah banyak yang berdiri di tingkat pedesaan sampai perkotaan. Lembaga keuangan ini tidak bisa terlepas dari proses kegiatan ekonomi. Sedangkan yang kita ketahui, ekonomi merupakan usaha atau kegiatan yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mulai dari tingkat produksi, distribusi dan konsumsi pada barang atau jasa. Mengoptimalkan hasil (uotput) serta meminimalisir biaya produksi yang ada.
Menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan (Kasmir, 2000) yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Meskipun demikian, ada satu hal yang menjadi kekhawatiran masyarakat kita dengan keberadaan bank tersebut, yaitu dengan diberlakukannya sistem bunga. Kita mengetahui bersama jika bunga sudah lazim digunakan hampir di setiap bank yang ada di setiap negara. Dan mayoritas jumhur ulama mengatakan bahwa bunga dapat disamaartikan dengan riba.
Telah banyak studi yang mengungkapkan bahwa sistem riba sangat tidak menguntungkan. Bahkan apabila hal tersebut terjadi lebih lanjut, maka akan menimbulkan dampak kepada masyarakat kelas menengah ke bawah. Dan ujung dari permasalahan ini adalah tidak stabilnya aktifitas ekonomi di negara Indonesia. Selanjutnya Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya “Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective” yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics, menyebutkan, bahwa pengharaman riba dalam ekonomi, setidaknya disebabkan oleh empat alasan;
Pertama, sistem bunga atau riba telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu, apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Kedua, hal ini menyebabkan berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Ketiga, sistem bunga akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat. Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para pengusaha yang menggunakan modal pinjaman. Untuk mengatasi semua itu maka dibutuhkan sebuah sistem yang dapat memberikan solusi atas segala permasalahan tersebut. Baitul Maal wat Tamwil atau BMT hadir ditengah kekacauan sistem perekonomian yang hampir mendekati kapitalis.
Masyarakat kalangan menengah kebawah membutuhkan sistem yang tentunya menguntungkan bagi mereka, agar ketika mereka berinvestasi mereka berani meminjam modal atau memberikan modal kepada lembaga keuangan yang tidak menerapkan sistem bunga. Sehingga kekhawatiran-kekhawatiran yang timbul akibat bunga tidak pernah terjadi. Kelebihan BMT dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat, dimana lembaga keuangan lain atau lembaga keuangan konvensional masih jarang menyentuh kalangan menengah ke bawah, serta menjangkau daerah pedesaan seperti pada sektor pertanian atau sektor desa lainnya. Konsep BMT sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah diharapkan mampu memberikan alternatif pelayanan jasa berupa simpan pinjam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist. Dalam praktiknya BMT mampu meningkatkan kemandirian daerah melalui mudharabah, musyarakah, murabahah tanpa bunga yang menghambat akses pada masyarakat menengah ke bawah.
Penguatan sektor ekonomi harus dimulai dari bawah. Pondasi-pondasi perekonomian dibangun sebaik dan sekuat mungkin. Apabila terjadi krisis ekonomi seperti yang sudah terjadi, dampak yang ditimbulkan tidak sampai kepada kalangan menengah ke bawah. BMT dan pihak yang memiliki tanggungjawab untuk mengelola dana harus mempunyai sinergitas dan kemitraan yang baik agar terjalin hubungan yang produktif.
Apabila kita menelisik sejarah kebudayaan Islam seperti yang terdapat dalam Zallum (1983) baitul maal merupakan pihak yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendataan atau pengeluaran. Setiap harta yang masuk entah dari harta rampasan perang atau sedekah dan infaq selalu habis dibagikan kepada kaum muslimin dan untuk pemeliharaan kaum muslimin. Bahkan dalam sebuah cerita seorang sahabat bernama Hanzhalah bin Shaifi menyatakan bahwa Rasul tidak pernah menyimpan harta umatnya lebih dari satu malam.
Agama Islam telah memiliki jalan dan aturan untuk tidak mendekati riba, namun karena ketidakpahaman masyarakat, banyak yang akhirnya lebih memilih meletakkan dananya di bank dari pada di baitul maal. Baitul Maal yang pada hakikatnya dapat memeratakan ekonomi masyarakat masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat awam sebagai instansi keuangan yang tidak membawa keuntungan. Konsep infaq, zakat, dan shadaqah yang ditawarkan Islam melalui baitul maal diharapkan dapat menstabilkan serta memperbaiki perekonomian masyarakat ditengah berbagai problematika yang terjadi saat ini. Wallahu Alam.
Referensi
Bps.go.id / BPS.2017.Jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2017
Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan. Jakarta: Rajawali Press
A.M Sadeq “Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective” : Journal of Islamic Economics.
Leave a Reply