By Faisal Hadi (Dosen Fakultas Teknik Universitas Bengkulu)
Audien terkaget-kaget dan (tentu saja) bertepuk tangan ketika menghadiri Puncak Peringatan Dies Natalis ke-60 Universitas Padjadjaran (Unpad), di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad, Kota Bandung, Senin (11/9/2017), Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat usulan yang sangat kekinian dan bahkan dianggap kontroversial, Pada acara tersebut Presiden mengusulkan agar kampus membuka jurusan Media Sosial. Sebagian orang mungkin mengganggap usulan tersebut “main-main” karena media sosial selama ini lebih dianggap sebagai ajang eksis, selfie, dan cair. Tidak berhenti disitu saja, yang membuat kita lebih kaget lagi, pada sebuah acara di Universitas Diponegero pada tanggal 17 Oktober 2017, Kepala Negara mengusulan agar dibuka jurusan Meme. Dan yang terbaru di acara Forum Rektor Indonesia tanggal 15 Februari 2018, Presiden Presiden meminta agar kampus-kampus bisa membuka jurusan atau program studi khusus tentang kopi dan kelapa sawit, karena menurut Presiden, dua jurusan itu punya peluang besar di dunia industri.
Sepertinya keinginan presiden ini diamini oleh Menristekdikti. Dalam sebuah kesempatan sebagaimana dilansir salah satu media online, Mohamad Nasir setuju dengan Presiden dan mempersilakan kampus untuk membuka jurusan-jurusan ‘kekinian’ tersebut. Bahkan Nasir menegaskan, Kemenristek Dikti telah mengubah peraturan lama yakni semua kampus dipersilakan membuka prodi apapun sesuai perkembangan pasar.
Peraturan lama memang seperti ‘membelenggu” kreativitas dan inovasi perguruan tinggi yang diharuskan memberikan respon yang cepat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Aturan tentang nomenklatur yang diterapkan secara tegas membuat beberapa perguruan tinggi wajib “merubah” nama program studi agar sesuai aturan yang sudah ditetapkan. Usulan pembukaan program studi barupun harus sesuai dengan nomenklatur yang sudah ditentukan. Jika tidak sesuai, jangan harap program studi diberi ijin untuk menyelenggarakannya. Walapun dalam setiap peraturan jumlah nama program studi dapat bertambah sesuai dengan kajian (sebagai contoh, Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 163/Dikti/Kep/2007 yang hanya memuat 524 program studi yang diakui ) tetapi tetap saja perguruan tinggi wajib menyesuaian dengan perubahan itu. Yang terbaru adalah Keputusan Menristekdikti no. 257/2017 yang menetapkan nama program studi pada perguruan tinggi.
Seperti menyambut permintaan presiden, semua peraturan nomenklatur atau penamaan program studi seperti mulai ditinggalkan. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menyatakan usulan program studi (prodi) baru tidak harus sesuai dengan nomenklatur yang tertuang dalam Kepmenristekdikti 257/2017 dan telah telah menyetujui beberapa perguruan tinggi untuk mengusulkan prodi baru, meskipun tidak sesuai dengan nomenklatur yang ada.
Permasalahan ini dapat dililhat dari dua apek, aspek yang pertama adalah perkembangan pengetahuan dan teknologi. Penetapan nama program studi di perguruan tinggi pada hakikatnya menyempitkan perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang dan berubah secara cepat sehingga mengakibatkan munculnya ilmu-ilmu baru bahkan bisa muncul sub ilmu dan spesialisasi. Menurut Van Peursen (1985) bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. Hal ini menyebabkan semakin kaburnya garis batas antar ilmu yang satu dengan yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis (Kunto Wibisono, 1977). Hal ini dapat dilihat dari beberapa ilmu yang pada mulanya tidak berhubungan menjadi hubungan yang sangat erat. Sebagai contoh, ilmu elektromedik yang merupakan “perkawinan” ilmu elektro dengan ilmu medik. Dua buah ilmu yang sepertinya tidak berhubungan, tetapi ketika teknologi mikroelektronika ditemukan, maka hampir semua peralatan atau alat ukur medis telah menggunakan sistem teknologi digital yang mengharuskan ilmu atau sub ilmu yang bisa menjembataninya. Begitu juga dengan ilmu mekanika dan elektronika yang berkembang menjadi ilmu baru mekatronika. Hal yang sama juga dapat terjadi dengan ilmu sosial dan ilmu pasti. Ilmu sosial dianggap berbeda dengan ilmu-ilmu pasti lebih bersifat “mati”, tetapi gejala-gejala yang diamati dalam ilmu sosial humaniora bersifat hidup dan bergerak secara dinamis. Disparitas ilmu seperti ini kedepan akan berubah, seiring dengan telah dimulainya digitaliasi atau kuantisasi variabel-variabel sosial dalam bentuk teknologi computer atau dapat juga dalam persamaan matematis yang kompleks. Seperti contoh penerapan kecerdasan buatan (artificial intelegent) dalam menyelesaikan atau prediksi-prediksi masalah sosial.
Terlepas dari kontroversi yang terkait dengan usulan Pak Jokowi tentang membuka program Studi Meme, program studi Kopi atau program studi lainnya, paling tidak beliau memberikan pesan kepada kita bahwa Universitas harus menjadi pioneer dalam setiap penemuan bidang ilmu atau spesiliasi baru dan harus “merdeka” dari pembatasan ilmu yang merupakan (hanya) nomenklatur belaka. Langkah ini akan membuat berkembangnya kreativitas manusia.
Aspek yang kedua adalah tantangan kebutuhan jaman yang disebut-sebut sebagai revolusi industri ke-4. Revolusi industri generasi keempat ini ditandai dengan kemunculan superkomputer, robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik dan perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak (Klaus Schwab, Founder dan Executive Chairman of the World Economic Forum). Menurut ekonom senior/Ketua Yayasan Indonesia Forum Raden Pardede, revolusi industri ke-4 mengalami dua fase, yakni fase job disruption dan fase job creation. Fase job disruption atau disrupsi lapangan kerja terjadi setelah muncul inovasi teknologi yang sangat revolutif, yang ‘mengganggu’ tatanan lama. Fenomena yang mendorong peralihan teknologi dan model bisnis dari konvensional ke digital itu dikenal dengan istilah teknologi disruptif atau disrupsi teknologi. Disrupsi sudah meluas ke berbagai bidang dan tatanan, bukan cuma teknologi. Fase job disruption, merupakan jembatan menuju fase job creation atau penciptaan lapangan kerja baru. Masa transisi dari fase job disruption ke fase job creation itulah yang mesti diantisipasi. Bila selama masa transisi tidak disiapkan langkah-langkah yang tepat, fase job creation tidak akan menghasilkan banyak lapangan kerja.
Disinilah peran pemerintah bersama perguruan tinggi agar fase ini bisa kritis tersebut bisa diatasi. Perguruan tinggi harus mempersiapkan tenaga kerja yang mempunyai keahlian khusus untuk memasuki lapangan kerja baru. Maka peluang kerja baru harus disiapkan sehingga bisa mengadopsi teknologi supercomputer dan internet of things sehingga mereka bisa bekerja di sektor-sektor usaha yang mengalami disrupsi. Jika gagal menghadapi fase ini maka akan terjadi PHK dan pengangguran besar-besaran sehingga bonus demografi yang seharusnya mendatangkan manfaat malah menjadi petaka karena penduduk usia produktif yang mendominasi populasi tidak mendapatkan lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu cabang-cabang ilmu baru harus terus dikembangkan secara cepat untuk mejawab kebutuhan tersebut. Egosentris keilmuan menjadi tidak relevan karena akan memperkecil ruang gerak sehingga susah beradaptasi. Dan adalah akan menjadi hal yang aneh, ketika dunia sudah bertransformasi kita masih berkutat dengan penamaan program studi yang menempatkan bidang ilmu dalam penjara. Tapi walaupun begitu, pemerintah telah menyadari “kekeliruan” ini bertahun-tahun walaupun terlambat. Kita berharap pada akhirnya dalam waktu yang tidak terlalu lama kita ucapkan “Selamat Tinggal Nomenklatur Program Studi di Perguruan Tinggi”.
Sumber bacaan :
Leave a Reply