Perjalananku Ke Amsterdam

Oleh Firman Alamsyah, Ph.D. (C-tech Labs Edwar Technology)

Halo teman-teman, saya ingin berbagi pengalaman dalam perjalanan saya ke Amsterdam, menghadiri 25th Biennial Congress dari European Association for Cancer Research (EACR). Ini adalah perjalanan kedua saya ke Amsterdam sejak tahun 2016 ketika pertama kali menghadiri seri konferensi EACR dengan tema A Matter of Life or Death pada tanggal 28-30 Januari, yang bertempat di gedung Rode Hoed. Sebelum memulai perjalanan, sebagai warga negara Indonesia, saya harus mengajukan visa ke Belanda, yaitu visa Schengen, karena Belanda termasuk dalam anggota Uni Eropa. Untuk mengajukan visa Schengen ke Belanda dari Indonesia, saya pergi ke kantor VFS Global yang berlokasi di Kuningan City Mall lantai 1, Jakarta. Informasi mengenai cara mengajukan visa ke Belanda, dapat ditemukan di website VFS di http://www.vfsglobal.com/netherlands/indonesia/, pilih jenis visa yang akan diajukan, kemudian ikuti petunjuknya. Cukup mudah untuk mengajukan visa Schengen ke Belanda dan hanya butuh beberapa hari untuk mendapatkan visanya, walaupun saya mengajukannya di musim panas di Belanda, puncak kunjungan wisatawan. Agar tulisan saya bermanfaat, Saya ingin berbagi tips untuk mengajukan visa ke Belanda, seperti tertulis di bawah ini.

  1. Pertama kali, kita harus membuat janji temu secara online untuk mengajukan visa dan pastikan jadwal janji temu paling lambat sebulan sebelum keberangkatan ke Belanda. Harap mengunjungi laman ini untuk membuat janji temu : http://www.vfsglobal.com/netherlands/indonesia/schedule-an-appointment.html. Kita harus membayar biaya servis untuk menyelesaikan pendaftaran jadwal janji temu. Saya membayar Rp. 416,500 untuk biaya servis untuk pengajuan visa Bisnis.
  2. Setelah memilih tipe visa, unduh dan isi form aplikasi visanya. Siapkan semua dokumen yang dibutuhkan dengan 1 fotokopi untuk setiap dokumen, dan bawa semua dokumen ke kantor VFS Global pada waktu janji temu. Kita sebaiknya membawa fotokopi KTP dan print out bukti booking tiket pulang pergi, walaupun kedua dokumen tersebut tidak tercantum dalam daftar dokumen yang dibutuhkan, tetapi diminta oleh staf VFS Global.
  3. Sebaiknya kita datang 30 menit sebelum jadwal janji temu, karena jl. Dr. Satrio di depan Kuningan City Mall selalu macet, khususnya di pagi dan sore hari. Jika kita datang terlambat satu menit saja, kita tidak boleh masuk dan harus membuat jadwal janji temu baru dan kita bisa mendapatkan jadwal baru satu bulan kemudian.
  4. Kita bisa mendapatkan visa setelah 4 hari memasukkan dokumen di janji temu. Cek email setiap hari untuk melihat email konfirmasi koleksi passport dari VFS Global.

Setelah mendapatkan visa, saya terbang ke Amsterdam dengan maskapai Etihad Airways (yang termurah saat itu) selama 18 jam penerbangan dengan transit di bandara Abu Dhabi. Saya tiba di bandara Schiphol Amsterdam pada jam 3 sore. Pada musim panas, waktu siang hari lebih panjang dari malam hari di Amsterdam. Waktu sholat dzuhur jam 2 siang, ashar jam 6 sore, maghrib jam 10 malam, isya’ jam 12 malam dan subuh jam 3 pagi. Oleh karenanya, saya masih mempunyai waktu untuk melakukan sholat dzuhur dan ashar bersama-sama dalam satu waktu (jamak). Untuk pergi ke kota Amsterdam dari bandara, traveler dapat memilih beberapa pilihan transportasi. Saya lebih memilih menggunakan kereta menuju stasiun Amsterdam RAI, dan perjalanannya hanya membutuhkan waktu 10 menit dengan biaya 4 Euro. Kemudian, saya berjalan kaki menujua Amsterdam RAI, tempat dilaksanakannya Kongres yang berlokasi dekat dengan stasiun, dan kemudian pergi ke Hotel Victorie dengan berjalan kaki selama 15 menit dari Amsterdam RAI. Di daerah Victorieplein, saya sering melihat beberapa muslimah yang menggunakan jilbab dan juga orang arab dan Indonesia. Lebih bersyukur lagi, ternyata ada restoran halal Indonesia yang bernama Indonesia Indah yang letaknya sangat dekat dengan Hotel tempat saya tinggal, hanya berjarak 3 menit jalan kaki dari hotel. Diantara hotel dan restoran, terdapat supermarket bernama Dirk yang menjual mie halal dari Singapore dengan label Majelis Ulama Singapore. Kita juga dapat bertanya pada asisten supermarket tentang makanan yang halal bagi muslim, karena ada beberapa orang Arab yang bekerja di supermarket tersebut. Saya juga menemukan masjid yang bernama masjid Shoura, sekitar 8 menit berjalan kaki dari hotel. Untuk semua fasilitas yang berdekatan, sangat nyaman untuk tinggal di daerah Victorieplein. Saya menyarankan anda untuk memesan hotel di daerah ini jika berkesempatan berkunjung ke Amsterdam. Dari Victorieplein, hanya membutuhkan waktu 15 menit dengan menggunakan tram untuk pergi ke Amsterdam Centraal.

Setelah istirahat selama satu hari di hotel, saya pergi ke Amsterdam RAI untuk menghadiri Kongres. Menghadiri Kongres EACR itu sendiri adalah sebuah pengalaman yang luar biasa bagi saya. Seribu peneliti dan klinisi dari seluruh dunia mempertunjukkan hasil riset mutakhir kelas dunia di bidang kanker. Terdapat 12 topik di dalam Kongres ini, meliputi Karsinogenesis, Biologi sel kanker, Genomik kanker, epigenetik, dan instabilitas genetik; Therapi eksperimental/molekuler, Pharmakogenomik, Riset translasional, Epidemologi molekuler dan genetik, Pencegahan dan deteksi dini, Biologiradiasi dan onkologi radiasi, Jalur sinyal, Biologi tumor, dan Immunologi tumor. Dalam kuliah pembuka yang disampaikan Profesor Anton Berns, Presiden EACR, memberikan pesan yang dalam dan mengesankan bagi peserta Kongres. Ia mendoorong semua peserta untuk bersatu untuk mengatasi ratusan ribu kasus kanker baru setiap tahun. Kasus-kasus kanker hanya dapat diatasi dengan riset, katanya. Bahkan, ia memberikan semangat kepada para peserta bahwa setiap peneliti kanker harus bangga sebagai seorang peneliti kanker, karena kontribusi mereka akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada dunia.

Presentasi yang mengesankan lainnnya disampaikan oleh Profesor Rene Bernards dari Netherlands Cancer Institute, dengan judul presentasi “Bringing affordable healthcare to the clinic”.  Ia bercerita pada peserta bagaimana ia dan timnya berjuang agar pengobatan kanker dapat dijangkau oleh semua pasien. Mereka tidak ingin bekerjasama dengan perusahaan farmasi besar untuk memproduksi kembali obat kanker yang telah habis masa patennya. Sebaliknya, mereka bekerjasama dengan institusi-institusi yang mempunyai visi yang sama dalam memberikan pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau pasien. Institusi-institusi tersebut adalah Oncode Institute dan Qameleon Therapeutics. Kemudian obat dibuat dan dipasarkan oleh pabrik pembuat obat generik. Oleh karenanya, pasien mendapatkan obat kanker generik yang lebih murah dari obat-obat kanker yang diproduksi oleh perusahaan farmasi besar, tetapi dengan kualitas yang sama. Saat ini di negara saya Indonesia, perusahaan asuransi negara yang dikenal dengan nama BPJS telah menghentikan pembiayaan atas obat Trastuzumab (Herceptin) untuk pasien kanker, dikarenakan harga obat tersebut mahal, sekitar 25 juta rupiah atau sekitar 1.728 US Dollar sebagaimana yang diberitakan Metro tv.  Kondisi ini telah mendorong masyarakat untuk mengajukan gugatan hukum terhadap BPJS. Semangat dan perjuangan Rene Bernards seharusnya dicontoh oleh para peneliti kanker Indonesia, agar pasien mendapatkan pengobatan yang terjangkau. Tidak boleh ada orang yang menghidari pengobatan karena biaya pengobatan yang mahal. Ini adalah tanggungjawab peneliti kanker dan juga pemerintah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *