Menjadi Bangsa yang Berdaya Saing Tinggi

Oleh : Aang Kunaifi,

Penulis Buku Membangun (Kembali) Indonesia Kita

Asean Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) telah hadir, hadirnya AEC atau MEA sebagai bentuk kerja sama ekonomi antar negara-negara di ASEAN membuat kompetisi bakal terjadi secara ketat, Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara, mau tidak mau harus mempersiapkan dirinya dengan baik untuk menghadapi era persaingan tersebut.

Saat ini kita memang sedang mengahadapi era persaingan yang sangat masif, tidak hanya terjadi dalam skala negara, tetapi terjadi dalam ruang lingkup yang lebih luas. Zuhal (2010) menyebut realitas tersebut dengan globality, yaitu era baru yang ditandai dengan kemunculan berbagai bentuk kompetisi global. Kompetisi global tersebut memaksa keluarnya beberapa perusahaan multinasional (MNC) dari pusat korporasi induk, menuju kawasan yang siap berkompetisi. Kebijakan tersebut harus dilakukan untuk mendapatkan low cost manufacturing dan low-end markets bagi bisnis mereka.

Berkaca kepada Singapura, Korea Selatan dan Jepang dalam menghadapi persaingan tersebut, Indonesia tidak boleh hanya mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) saja. Indonesia harus mampu memaksimalkan potensi intangible, yaitu potensi Sumber Daya Manusia (SDM). Apalagi jika mengingat bahwa Indonesia mempunyai penduduk dengan jumlah yang besar, serta keuntungan dari datangnya Bonus Demografi.

Singapura, sebagaimana juga Jepang dan Korea Selatan, merupakan model negara yang mampu memaksimalkan keunggulan kompetitifnya. Dari Wikipedia, kita mengetahui bahwa pun hanya mempunyai luas wilayah 716 km2 dan jumlah penduduk kurang dari enam juta jiwa, negara tersebut berhasil mencatatkan dirinya sebagai negara dengan peringkat satu kualitas hidup terbaik di Asia dan kesebelas di dunia dalam Indeks Kualitas Hidup menurut Economic Intelligence Unit (EIU).

Tidak hanya itu, pada semester pertama tahun 2010, Singapura berhasil mencatatkan dirinya sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia dengan pertumbuhan PDB 17,9%, memiliki angkatan bersenjata yang modern dan maju, serta tercatat sebagai negara yang mempunyai cadangan devisa terbesar ke 9 di dunia.

Daya Saing dan Globalisasi

Dunia hari ini mengalami proses globalisasi yang ditandai dengan adanya integrasi, interdependensi dan kesalinghubungan antar bangsa (Winarno, 2008). Kondisi tersebut membuat dunia ibarat sebuah bidang datar, batas-batas teritorial diantara mereka juga nampak semakin bias.

Proses globalisasi muncul bersamaan dengan kebangkitan kembali kelompok neoliberal atau kelompok Kanan Baru di Amerika Serikat dan Eropa, akan tetapi sebagian pengamat ada yang mengatakan bahwa justru kebangkitan kelompok tersebut yang memicu terjadinya proses gelobalisasi.

Kelompok neoliberalisme adalah kelompok yang ingin meminimalisir peran negara dalam urusan ekonomi, mereka mendukung paham Keynesian yang berpendapat bahwa besarnya peran negara justru akan mendistorsi pasar serta membuat ekonomi dunia berjalan dengan tidak efektif (Winarno, 2008)

Sementara itu, perkembangan yang terjadi pada bidang teknologi informasi dan komunikasi membuat globalisasi berjalan dengan sangat massif, dunia seolah benar-benar menyatu tanpa batas. Menurut Zuhal (2010), dalam konteks persaingan antar bangsa, jaringan teknologi informasi dan komunikasi akan menciptakan karakter dan budaya baru dalam persaingan ekonomi.

Paradigma Daya Saing Bangsa

Dalam laporan yang disampaikan oleh World Economic Forum (WEF), seperti yang diberitakan dalam kompas.com, peringkat Indonesia dalam Global Competitiveness Index (GCI) mengalami kenaikan 5 tingkat, berada pada peringkat 36 dari 137 negara.

Hanya saja, seperti yang diberitakan oleh detik.com, walaupun mengalami kenaikan sebesar 5 tingkat, menempati posisi 36 dari yang sebelumnya menempati posisi 41, posisi Indonesia masih kalah kalau dibandingkan dengan peringkat beberapa negara di Asean, seperti Singapura, Malaysia dan bahkan Thailand yang masing-masing berada pada peringkat 3, 23 dan 32.

Penilaian peringkat GCI sendiri mengacu kepada 12 pilar daya saing, yaitu pengelolaan institusi atau kelembagaan negara yang bersangkutan, infrastruktur, kondisi dan situasi ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tingkat atas dan pelatihan, efisiensi pasar, efisiensi tenaga kerja, pengembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, ukuran pasar, lingkungan bisnis dan inovasi.

Mengacu kepada peringkat GCI, Indonesia perlu melakukan kerja keras dalam menyongsong MEA. Indonesia harus mampu bersaing dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang mempunyai peringkat lebih baik. Melihat kondisi tersebut, Indonesia harus berusaha keras dan tepat untuk meningkatkan daya saing. Mengutip pendapatnya Zuhal, perubahan paradigma dalam memandang daya saing perlu mendapatkan perhatian yang serius, ia dapat dianggap sebagai upaya pertama yang harus dilakukan.

Belajar dari Singapura, Korea Selatan dan Jepang, ternyata aset intangible berupa SDM yang unggul menjadi rahasia penting dalam upaya menjadi negara berdaya saing tinggi, kendati ketiga negara tersebut miskin SDA. Dari sana dapat diambil kesimpulan bahwa SDA belum cukup untuk dijadikan sebagai faktor utama dalam peningkatan daya saing.

Beberapa negara yang mempunyai kekayaan SDA sering berpandangan tidak tepat dalam melihat potensi tersebut, alih-alih melakukan proses industrialisasi agar kekayaan SDA mempunyai nilai tambah, mereka lebih memilih mengekspor kekayaan mentah tersebut agar segera mendapatkan keuntungan. Kebijakan tersebut sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Singapura, Jepang, Korea Selatan, bahkan Taiwan yang mampu memberikan nilai tambah pada SDA nya.

Singapura dan beberapa negara industri lainnya tidak terjebak pada kebijakan ekspor bahan mentah, selain karena memang tidak banyak bahan mentah yang dapat diekspor, mereka lebih memokuskan perhatian pada peningkatan kualitas SDM. SDM yang berkualitas tersebut pada akhirnya mampu memberikan nilai tambah pada sedikit bahan mentah yang mereka miliki. Produk manufaktur yang mempunyai nilai tambah tersebut yang mendongkrak daya saing mereka.

Keberhasilan dalam menjaga dan memaksimalkan aset intangible dengan cara menanamkan investasi yang besar dalam pembangunan SDA akhirnya membuat beberapa negara lain, termasuk Malaysia, mempunyai peringkat daya saing yang tinggi.

Indonesia sebenarnya mempunyai potensi SDA dan SDM sekaligus yang jauh lebih besar dibandingkan dengan beberapa negara lainnya di Kawasan Asia Tenggara, besarnya kekayaan alam dan jumlah penduduk yang besar seharusnya dapat dimaksimalkan dalam rangka meningkatkan daya saing. Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif seharusnya menjadi perpaduan yang hebat. Kalau keunggulan komparatif melekat pada kekayaan alam, bahan mentah, maka keunggulan kompetitif terdapat pada kreatifitas dan inovasi.

Keunggulan kompetitif adalah rahasia dibalik daya saing sebuah bangsa, maka tidak pelak pembangunan manusia menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Keunggulan kompetitif terdapat pada kreatifitas dan inovasi, karena itu proses pembangunannya berawal dari pengetahuan yang berujung pada penciptaan kreatifitas dan inovasi.

Pengetahuan dan kreatifitas serta inovasi harus dijembatani dengan kemampuan berpikir kritis, karena sebuah bangsa yang besar, menurut Rhenald Kasali, tidak akan menghasilkan karya-karya yang besar bila tidak kritis terhadap informasi-informasi yang datang (Kasali, 2014). Kemampuan untuk berpikir kritis menjadi jaminan bahwa kreatifitas dan inovasi yang dihasilkan akan dapat dipertanggungjawabkan.

Penciptaan masyarakat yang berpengetahuan menjadi mendesak untuk dilakukan, masyarakat yang mampu berpikir kritis  dan sekaligus berpikir kreatif, sehingga inovatif dalam berbagai situasi. Masyarakat yang berpengetahuan tersebut diharapkan nantinya diharapkan dapat memastikan sebuah bangsa mempunyai keunggulan kompetitif, yaitu keunggulan yang akan membawa bangsa tersebut menjadi berdaya saing tinggi.

NB;

Tulisan di atas merupakan salah satu artikel dalam buku Membangun (Kembali) Indonesia Kita, dengan penambahan dan pengurangan (revisi) beberapa informasi.

Referensi:

Zuhal. 2010. Knowledge & Innovation, Platform Kekuatan Daya Saing.  Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Winarno, Budi. Kebijakan Publik. Teori, Proses dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS

https://id.wikipedia.org/wiki/Singapura
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3662549/ciamik-daya-saing-ri-naik-5-peringkat-ke-posisi-36

http://ekonomi.kompas.com/read/2017/09/29/193319126/sri-mulyani-ungkap-mengapa-peringkat-daya-saing-indonesia-meningkat

http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/2017/04/11/memperbaiki-daya-saing-indonesia/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *