Meniti Jejak Konsep Dasar Metodologi Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Pendidikan Buya Hamka
Oleh: Anes Devy Anggraeni
Sejak abad 18 hingga 21, para pemikir-pemikir modern Muslim telah banyak yang bermunculan dengan beragam karya keislaman masing-masing. Jejak-jejak keilmuan yang ditinggalkan berpotensi kuat membuka jalan raya keilmuan menuju gerbang-gerbang kebangkitan ilmu pengetahuan Islam itu sendiri.
Buya Hamka adalah satu diantara pemikir-pemikir modern Muslim itu. Nama aslinya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau kemudian dikenal dengan singkatan nama tersebut yaitu HAMKA. Beliau adalah putra pertama dari pasangan Dr. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Shaffiah yang lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di Maninjau, Sumatra Barat. Sejak kecil Hamka dikenal sebagai anak yang sudah akrab dengan pendidikan agama Islam. Bahkan Hamka kecil pun sudah menampakkan kesukaannya pada pelajaran Lughatul ‘Arabiyyah (Bahasa Arab). Walaupun tidak ada satupun pendidikan formal yang ditamatkannya, kecintaannya pada ilmu membuatnya banyak membaca dan belajar langsung dari tokoh-tokoh dan ulama, baik di Sumatra Barat, Jawa, bahkan sampai ke Makkah (Ferry Taufiq, 2018: 43)
Saat berada di Makkah, Hamka belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib Al- Minangkabawi. Ia juga sempat berjumpa dengan Haji Agus Salim. Seperti dikutip dari biografi Hamka, Haji Agus Salim lantas menasehatinya agar pulang ke tanah air, pasalnya, banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, perjuangan, dan pendidikan yang mesti ditunaikan oleh Hamka. Haji Agus Salim juga menasehati Hamka untuk mengembangkan diri di tanah air saja, bukan di Makkah. Akhirnya, Hamka pulang ke tanah air atas saran Haji Agus Salim, namun bukan ke Padang Panjang, akan tetapi jutru memilih tinggal di Medan (Ferry Taufiq, 2018: 43-44).
Hamka termasuk seorang ulama yang sangat alim, ia pun aktif sebagai aktivis organisasi dan dunia kepenulisan. Puncaknya, pada tanggal 26 Juli 1957, ia dilantik sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) oleh Menteri Agama Indonesia saat itu, Mukti Ali. Namun, pada tahun 1981, ia memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan prestisius itu sebagai bentuk protes dirinya yang dipaksa untuk mencabut fatwa larangan ikut perayaan Natal bagi kaum muslimin. Setelah itu, ia benar-benar mencurahkan seluruh waktunya dari atas mimbar dakwah, dan terus menulis.
Hamka adalah seorang alim ulama yang berhasil mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar, Kairo. Ia juga mendapatkan gelar yang sama dari Universitas Prof. Moestopo Beragama, dan pada tahun 1974 ia juga mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Selain itu, ia juga berhasil menyelesaikan sekitar 118 karya tulis (baik artikel maupun buku-buku) yang sudah dipublikasikan (Irfan Hamka, 2013: 290).
Hebatnya, karya Hamka mencakup banyak bidang kajian keilmuan, mulai dari tafsir, pendidikan, filsafat, sejarah, dan juga sastra. Di antara karya-karyanya yang masih bisa kita jumpai dan diterbitkan ulang oleh beberapa penerbit di Indonesia diantaranya adalah Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Budi, Lembaga Hidup, Tafsir Al-Azhar, Pelajaran Agama Islam, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan sebagainya. Bahkan karyanya yang berupa Tafsir Al-Azhar 30 juz berhasil beliau selesaikan saat menjalani hari-hari di dalam penjara selama dua tahun empat bulan.
Pemikiran pendidikan Hamka dapat kita telusuri dari banyak karyanya, semisal Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Budi, dan Tafsir Al-Azhar, karya-karya Hamka ini memang bukan hanya karya pendidkan murni. Sebab, ia tidak pernah bermaksud menulis buku pendidikan secara khusus. Namun, dalam buku-buku tersebut, kita dapat menemukan gagasan-gagasan Hamka yang brilian perihal pendidikan Islam. Di antara hal yang ditulis oleh Hamka adalah perihal pengertian pendidikan islam, tujuan pendidikan Islam, materi pendidikan Islam, dan metode pendidikan Islam. Ulasan dari pembahasannya ialah sebagai berikut ini:
1. Pengertian Pendidikan Islam
Secara garis besar ada tiga term yang digunakan para pakar pendidikan Islam untuk menunjukan istilah pendidikan dalam Islam, yakni ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Adapun Hamka tampaknya lebih condong pada penggunaan istilah tarbiyah. Dalam hal ini, ia berpendapat bahwa tarbiyah kelihatannya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam (Ahmad Taufik, 2010: 83).
Selanjutnya, Hamka membedakan pengertian pendidikan dan pengajaran. Menurutnya sebagaimana dikutip oleh A. Susanto, pendidikan adalah serangkaian upaya yang dilakukan guru untuk membantu pembentukan watak, budi pekerti, akhlak, dan kepribadian murid. Sementara itu, pengajaran adalah upaya mengisi intelektual murid dengan sejumlah ilmu pengetahuan.
Sebenarnya, perbedaan kedua pengertian tersebut hanya terletak pada maknanya, tetapi secara substansi ialah sama. Keduanya memuat makna yang integral, dan saling melengkapi satu sama lain dalam mencapai tujuan yang sama. Sebab, setiap proses pendidikan di dalamnya senantiasa terdapat proses pengajaran. Dan, tentunya tujuan pendidikan akan tercapai apabila proses pengajarannya berjalan baik.
2. Tujuan Pendidikan Islam
Dalam perspektif Hamka, tujuan pendidikan Islam ternyata memiliki dua dimensi, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia harus melaksanakan tugas atau kewajibannya secara baik, yaitu beribadah kepada Allah Swt. Oleh karena itu, segala proses pendidikan pada dasarnya bertujuan agar dapat menjadikan murid sebagai hamba Allah Swt yang baik (A. Susanto, 2009: 106).
Pendidikan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Hamka, memang tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat materi. Pendidikan yang baik, dalam perspektif Hamka, tentu ialah pendidikan yang dapat mengintegralkan potensi lahir dan batin manusia. Sebab mustahil bagi seorang manusia untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat dengan mengabaikan salah satunya. Oleh karenanya, pendidikan mestilah seimbang, dalam arti selaras antara potensi fitrah lahir dan batin.
3. Materi Pendidikan Islam
Berbicara perihal materi pendidikan Islam, sesungguhnya kita membincang tentang konsep ilmu pengetahuan. Dan lantaran dikaitkan dengan Islam, secara otomatis kita akan berbicara perihal konsep dan sumber ilmu pengetahuan dilihat dalam perspektif penddidikan Islam. Dengan demikian, nantinya akan jelas perbedaan yang mendasar antara materi pendidikan Barat dan Pendidikan Islam.
Perbedaan mendasar pendidikan Islam dengan pendidikan ala Barat terletak pada konsep keilmuan. Dalan Islam, pendidikan harus selalu berorientasi dan mengacu kepada nilai-nilai agama, akhlak (moralitas), dan wahyu, sebagaimana banyak diuraikan ulama generasi salaf. Sementara konsep keilmuan ala Barat mengedepankan sikap bebas nilai, yang berakibat pada kerusakan ilmu (corruption of knowledge). Akibat pengikisan agama oleh Barat inilah yang akhirnya melahirkan sikap sekuler dan keragu-raguan (skeptis) terhadap kebenaran.
Tidak banyak cendekiawan Muslim menyadari bahwa kemunduran umat Islam sejatinya disebabkan oleh kerusakan ilmu. Kerusakan itu bermula dari masuknya pemikiran Barat ke dalam pendidikan Islam. Padahal ilmu yang disebarkan Barat secara sistematis ke seluruh dunia, bukanlah ilmu yang sebenarnya. Sebab ilmu tersebut sudah diilhami oleh karakter dan kepribadian budaya dan peradaban Barat. Itulah tantangan sesungguhnya bagi umat Islam saat ini. Salah satu kerusakan ilmu adalah adanya gelombang sekulerisasi. Gelombang ini mempengaruhi masyarakat Barat dan menyebabkan ilmu terlepas dari agama. Sekulerisasi tak hanya melepaskan diri dari ikatan agama, ia bahkan tak memberi ruang pada wahyu dan keberadaan Tuhan.
Epistemologi Barat yang sekuler pada puncaknya melahirkan paham atheism (paham yang tidak mempercayai agama dan adanya Tuhan), karena bagi mereka, Tuhan telah digantikan kedudukannya oleh imu atau sains. Fungsi dan tujuan ilmu pun kemudian bergeser dari yang bersifat ketuhanan menjadi bersifat materialistik. Alhasil, pengaruh Barat mau tak mau telah mereduksi hakikat ilmu yang dalam prespektif Islam mencakup pandangan secara menyeluruh tentang adanya alam nyata dan yang ghaib. Sebab dalam Islam, pengetahuan metafisik adalah bagian dari ilmu tertinggi.
Gejala seperti itu rupanya telah masuk dan menjalar ke dunia Islam, termasuk di Indonesia. Tujuan pendidikan di dunia Islam yang awalnya ingin melahirkan insan yang kamil mutakamil, taat dan tunduk pada wahyu, ujungnya hanya berorientasi kepada pemenuhan industri dan dunia kerja. Problematika serius lainnya yang dihadapi pendidikan Islam, apabila masih berkiblat pada konsep keilmuan Barat, adalah Lost of adab (hilangnya adab). Eksploitasi alam dan adanya penemuan-penemuan sains yang merusak manusia beserta lingkungannya, merupakan konsekuensi penyingkiran nilai-nilai agama dari sistem nilai manusia sekuler.
Hilangnya adab dalam pendidikan Barat ini dapat kita saksikan pada perilaku para ilmuan dan tokoh intelektual Barat modern. Sigmund Freud, seorang psikolog ternama dengan aliran psikoanalisnya, ternyata adalah seorang pecandu narkotika. Keseluruhan periode disaat Freud menuliskan teori-teori utamanya adalah ketika ia dalam kondisi menyedihkan karena kecanduan kokain. Begitu juga dengan sosiolog yang menjadi salah satu tokoh rujukan pendidikan moral, Lawrence Kohlberg. Tokoh ini memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri ke dalam air yang sangat dingin di Samudra Atlantik.
Moralitas seperti ini tak dianggap persoalan serius bagi masyarakat Barat. Jauh berbeda dengan pandangan Islam seperti diungkapkan pula dalam pemikiran Hamka, bahwa pendidikan harus selalu berorientasi kepada nilai-nilai agama, sehingga akhlak dan moralitas guru selalu menjadi sorotan utama. Seorang ulama yang bernama Ibn Sahnun pun menggulirkan teori pendidikan dalam bukunya yang berjudul “Kitabu Al Adab Mu’allimun,” ia menyatakan bahwa selain kecakapan akademis, seorang guru harus memiliki perilaku Islami, jujur, saleh, bertanggungjawab terhadap anak didiknya bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat nanti.
Oleh karena itu, hasil pendidikan Islam di masa lalu adalah merebaknya para ilmuan sekaligus ulama; orang yang fakih dalam agama dan memiliki akhlak terpuji. Sebuah pencapaian yang sulit ditandingi oleh peradaban manapun di dunia ini. Seharusnya, pendidikan Islam kembali ke akarnya dan tak lagi mengambil jejak peradaban yang rusak.
Menurut Hamka, secara garis besar ilmu pengetahuan dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis atau kategori. Pertama, ialah ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu (Al-Qur’an dan Hadist) yang kebenarannya bersifat mutlak. Jenis ilmu pengetahuan pertama itu disebut dengan istilah al-‘ulum an-naqliyah. Sementara itu jenis ilmu yang kedua, ialah ilmu pengetahuan yang bersumber akal manusia yang kebenarannya ialah relatif. Jenis ilmu kedua ini sering disebut dengan istilah al-‘ulum al-aqliyah.
Ilmu pengetahuan
yang pertama tentunya mencakup segala ruang dan
dimensi
waktu, baik yang
berkaitan dengan hal-hal yang tampak maupun yang ghaib. Kedua hal inilah yang secara jelas banyak diulas dalam teks, wahyu, baik Al-Qur’an maupu hadist Rasulullah Saw. Dengan kata lain, segala hal yang berkaitan dengan hal-hal yang
fisik maupun yang metafisik
termasuk dalam
bidang
garapan ilmu yang pertama.
Adapun ilmu yang kedua, ialah ilmu pengetahuan yang tentunya mencakup persoalan fisik semata. Sebab, segala yang bersifat metafisik tentunya berada di luar jangkauan akal. Dan, untuk memperoleh ilmu jenis kedua ini, tentunya diperlukan akal atau rasio yang sehat. Dan, materi ilmu yang kedua ini juga perlu dilengkapi dengan pendekatan yang bersifat ilmiah. Inilah yang barangkali dimaksud dari ilmu kategori kedua.
Selanjutnya, Hamka menyatakan bahwa penguasaan ilmu pengetahuan mestilah disempurnakan dengan amal dan akhlak. Sebab, menurutnya, ilmu yang tidak diiringi dengan amal perbuatan tidaklah berguna bagi kehidupan. Bahkan, ia juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan seharusnya membekas ke luar diri individu dan orang lain. Oleh karenanya, ilmu seharusnya diamalkan dalam bingkai akhlak yang baik. Ilmu, amal, dan akhlak sebagaimana dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan. Dan tentunya, Islam telah memberikan landasan yang jelas perihal cara untuk memperoleh ketiga hal diatas.
4. Metode Pendidikan Islam
Persoalan metode pendidikan Islam, tampaknya juga menjadi perhatian Hamka ketika membincang persoalan pendidikan Islam. Sebab, materi pendidikan Islam yang baik mustahil dapat disampaikan kepada para murid, apabila metode penyampaiannya buruk. Untuk itu, antara materi pendidikan dan metodenya mestilah sesuai. Dalam hal ini, Hamka merujuk firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 yang sebagai berikut:
Artinya: “Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Dalam perspektif Hamka, ayat tersebut mengandung tiga prinsip dalam penyampaian ajaran Islam. Pertama, ajaran Islam mestilah disampaikan dengan cara-cara atau metode-metode yang bijak, dengan akal budi yang baik, dengan hati yang bersih dan suci. Kedua, isi atau materi disampaikan secara baik, dan dibingkai dengan muatan isi yang kaya akan ilmu pengetahuan. Ketiga, ketika terjadi polemik atau konflik, sepatutnya dilakukan dengan perdebatan yang logis dan dilandasi nilai-nilai kasih sayang (M. Nasirudin, 2006: 175).
Berpijak pada pandangan Hamka tersebut, metode pendidikan Islam yang dapat dikembangkan, dan dijadikan sebagai cara yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan atau ajaran-ajaran agama ialah dengan metode ceramah, tanya jawab, praktik, keteladanan, diskusi, dan sebagainya. Metode ceramah, misalnya, ialah metode yang mensyaratkan seorang guru atau pendidikan mampu bersikap bijak, mendayagunakan akalnya secara baik, dan menyucikan hatinya. Dengan begitu, ceramah yang dilakukan akan berbobot, dan mengena di hati para murid.
Dengan demikian, dapat kita
simpulkan bahwa metodologi pendidikan Islam dalam
perspektif Hamka mestilah
mencakup tiga persoalan
sekaligus, yaitu tujuan pendidikan Islam, materi pendidikan Islam, dan yang
ketiga adalah metode pendidikan Islam. Dengan begitu banyak karya yang ditorehkan oleh Hamka kita dapat mengambil pelajaran bahwa sumbangsih pemikirannya dapat berbagai
persoalan maupun kebutuhan faktual yang ada disekitar
masyarakat. Pemikiran Hamka
menyimpan
begitu banyak potensi
untuk dijadikan
titik
tolak
kemajuan bagi generasi masa depan.
Daftar Pustaka
Ahmad Taufik Nasution. 2010 .“Studi Komparatif Konsep Dasar Metodologi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Hamka dan M. Quraish Shihab; Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Nasional”, Tesis Magister, Cirebon: IAIN Syekh Nurjati.
Djaelani, M. Anwar. 2018. Jejak Kisah Pengukir Sejarah. Yogyakarta: Pro-U Media. Hamka. 2007. Tafsir Al-Azhar. DKI Jakarta: Pustaka Panjimas
Hamka. 2016. Lembaga Budi. DKI Jakarta: Republika.
Irfan Hamka. 2013. Ayah… Kisah Buya Hamka. Jakarta: Republika.
Nasihuddin, M. 2006. “Percikan Pemikiran Pendidikan Hamka”. Jurnal al-Lubab.
Volume 1. No.1. hlm. 175.
Susanto, A. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.
Taufiq, Ferry. 2018. Buya Hamka Kisah dan Catatan dari Balik Penjara. Yogyakarta: Araska.