Oleh : Onrizal, Ph.D.*
Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic country) yang terdiri dari ribuan pulau. Namun demikian, pengakuan sebagai negara kepulauan tidaklah mudah dicapai. Perlu waktu lebih dari seperempat abad setelah proklamasi kemerdekaan bagi Indonesia untuk meyakinkan masyarakat dunia bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan wilayah yang utuh meliputi daratan dan lauatan dari Sabang sampai Merauke.
Saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum laut yang berlaku saat itu adalah yakni Staatblad tahun 1939 No. 442 mengenai ’Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie’ (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) yang merupakan produk pemerintahan kolonial Belanda. Menurut aturan tersebut, laut teritorial Hindia Belanda adalah tiga mil laut dari garis air surut pulau-pulau (termasuk batu karang dan gosong) atau bagian-bagian pulau yang termasuk wilayah Hindia Belanda. Di luar jarak tiga mil itu merupakan laut internasional atau laut bebas. Jadi dengan demikian, Hindia Belanda menggunakan konsep ’pulau demi pulau’ sehingga fungsi laut dalam negara kepulauan sebagai pemisah bukan penghubung serta bukan satu kesatuan wilayah.
Salah satu peristiwa penting terkait hal ini adalah pada tahun 1960 atau 15 tahun setelah Indonesia merdeka. Saat ituIndonesia berkonfrontasi dengan Belanda mengenai masalah Irian Barat. Betapa berapi-apinya Bung Karno mengecam Belanda ketika kapal induk Karel Dorman melintasi laut Jawa, namun Bung Karno (dan kita sebagai bangsa) juga tidak bisa melakukan apa-apa,1 hanya bisa mengecam saja. Mengapa? Karena laut Jawa yang dilalui kapal induk Belanda itu merupakan perairan laut internasional, peraiaran bebas, sehingga tidak termasuk wilayah negara Indonesia meskipun berada di antara pulau-pulau milik Indonesia. Sehingga, ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan kita baru merdeka secara politik, bebas dari belenggu kolonialisme bangsa lain, namun belum di bidang kehidupan lainnya, misalnya di bidang hukum, termasuk hukum laut (maritime law).2
Perjuangan Indonesia sebagai negara kepulauan diakui dunia melalui pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika. Sebelumnya konsep negara kepulauan ini telah dikumandangkan Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Deklarasi itu menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah Indonesia. Dengan demikian, Deklarasi Djuanda merupakan salah satu upaya dekolonisasi hukum laut warisan kolonial Belanda, sehingga laut di antara pulau-pulau Indonesia merupakan penghubung bukan pemisah wilayah Indonesia.
Lalu, apa hubungannya mangrove dengan keutuhan wilayah Indonesia dan bagaimana mangrove sebagai penjaganya?
Mangrove merupakan hutan atau vegetasi yang tumbuh di pesisir pantai yang lahannya dipengaruhi oleh pasang surut air laut, termasuk di pesisir pulau-pulau kecil (Gambar 1).3 Sebagai negara negara yang terdiri dari ribuan pulau, Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hampir ¼ mangrove dunia terdapat di Indonesia.4
Gambar 1. Mangrove di pesisir Gili Petagan, Nusa Tenggara Barat yang tidak saja penting bagi kestabilan wilayah pesisir pantai, namun juga untuk menjaga kesuburan ekosistem pesisir. Foto oleh Qodir (2013)
Secara alami, pesisir pantai menghadapi ancaman abrasi atau erosi akibat arus dan gelombang laut, sehingga kawasan ini bersifat tidak stabil. Berbagai hasil riset antara lain membuktikan kemampuan mangrove dalam menjaga pesisir pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi dan sekaligus mempercepat perluasan lahan. Dengan demikian, hutan mangrove sekaligus berfungsi untuk melindungi daerah di belakangnya dari hempasan gelombang, termasuk tsunami.5-9
Pengurangan atau peredaman energi dari arus dan gelombang laut oleh hutan mangrove melalui sistem perakaran mangrove yang khas dan kompleks serta batang dan percabangan berbagai jenis pohon mangrove.5,8,10,11 Salah satu contohnya adalah kehilangan pulau Tapak Kuda (lama) di pesisir Langkat, Sumatera Utara akibat hutan mangrove di pulau tersebut rusak akibat penebangan yang tidak terkendali di waktu lampau,12 sehingga fungsi lindungnya hilang.
Oleh karena itu, kita bisa bayangkan, bila hutan mangrove di pulau-pulau terluar Indonesia yang rusak, lalu pulaunya hilang. Bagaimana konsekuensi secara hukum batas wilayah Indonesia apabila salah satu atau beberapa pulau terluar Indonesia tersebut hilang yang diawali dengan kerusakan mangrovenya? Apakah titik ukur batas luar wilayah Indonesia berubah? Bila ya, maka luas wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan akan berkurang. Oleh karena itu, akankah kita terus membiarkan berbagai aktivitas yang menyebabkan mangrove kita rusak dan hilang serta dengan berbagai dampak ikutannya?
Mari berbenah, dengan mangrove kita jaga keutuhan wilayah tanah air kita.
Referensi
1 Wirayuda H (2009). Menlu RI : Mochtar Kusumaatmadja, pejuang Konsepsi Negara Kepulauan. Tabloid Diplomasi 17: 8-9
2 Sulistiyono ST (2009). Konsep batas wilayah negara di nusantara: kajian historis. Universitas Diponegoro, Semarang.
3 Qodir, A. (2013). Menyusuri hutan bakau Gili Petagan https://caderabdul.wordpress.com/2013/06/17/menyusuri-hutan-bakau-gili-petagan/ [Diakses: 2 Juli 2018]
4 Hamilton SE & Casey D (2016) Creation of a high spatio-temporal resolution global database of continuous mangrove forest cover for the 21st century (CGMFC-21). Global Ecol Biogeogr 25, 729–738.
5 Mazda Y et al. (2006). Wave reduction in a mangrove forest dominated by Sonneratia sp. Wetlands Ecology and Management 14:365–378
6 Mazda Y et al. (1997a). Mangroves as a coastal protection from waves in the Tong King delta, Vietnam. Mangroves and Salt Marshes 1: 127-135.
7 Mazda Y et al. (1997b). Drag force due to vegetation in mangrove swamps. Mangroves and Salt Marshes 1: 193-199.
8 McIvor, A.L., I. Möller, T. Spencer, M. Spalding. 2012. Reduction of wind and swell waves by mangroves. Natural Coastal Protection Series: Report 1. Cambridge Coastal Research Unit Working Paper 40. The Nature Conservancy and Wetlands International.
9 Onrizal & Mansor M (2016) Status of coastal forests of the Northern Sumatra in 2004’s tsunami catastrophe. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 17(1), 44-54
10 Ostling JL et al. (2009). The Biogeomorphology of mangroves and their role in natural hazards mitigation. Geography Compass 3 (5): 1607–1624
11 Tanaka N (2009). Vegetation bioshields for tsunami mitigation: review of effectiveness, limitations, construction, and sustainable management. Landscape Ecol Eng 5:71–79
12 Onrizal & Kusmana C (2008). Studi ekologi hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utara. Biodiversitas 9 (1): 25-29
*Dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara
*Ketua Bidang Jaringan SDM Pertanian, Kehutanan dan Kelautan, Indonesian Scholars Network (ISNet)
Leave a Reply